Saturday, August 8, 2009

Tersinggung


Tersinggung acap menghampiri diri kita, beragam penyebab dan latar belakangnya, beragam pula ekspresi dan pelampiasannya. Namun, ada yang nyaris tidak berbeda, tersinggung dapat membuat suasana hati menjadi keruh, bahkan kadang terluka.

Di sisi lain, tersinggung adalah merupakan kekhasan kita sebagai manusia yang Allah berikan perasaan lembut. Maka, jangan merasa bangga kalau ada orang yang mengaku dirinya tidak pernah tersinggung. Justeru tersinggung merupakan penegasan dari eksistensi kepribadian seseorang. Apalagi ketika radius pergaulannya semakin luas, variatif dan beragam.

Jadi, yang dibutuhkan adalah bukan mematikan sifat ketersinggungan itu, akan tetapi bagaimana kita meminimalisir atau memperkecil tingkat ketersinggungan dalam diri kita, apalagi kalau urusannya hanya bersifat pribadi belaka. Sebab, kalau hal itu kita biarkan tumbuh membesar dan liar dalam diri kita, akan banyak pintu-pintu kebaikan yang akan terhalang.

Bahkan, justeru dalam kondisi tertentu, ketersinggungan dapat dikelola dengan sikap positif untuk meraih hal-hal yang positif, di antaranya:

Tersinggung dapat menjadi kesempatan melatih diri untuk berlapang dada. Ketika ada hujatan, kritik, kata-kata yang memojokkan –terlepas itu benar atau tidak-, di sinilah sebenarnya kita diuji untuk mempraktekkan sikap lapang dada ini. Bukankah Rasulullah saw pernah memberikan jaminan surga kepada seseorang yang ketika menjelang tidur, dia melepaskan segala sangkutan dalam hatinya kepada semua orang.

Tersinggung, jika diarahkan dengan benar, akan melatih seseorang menjadi public relation bagi dirinya sendiri terhadap sikap yang dia ambil. Munculnya sindiran dan prasangka seringkali merupakan buah dari ketidaktahuan terhadap latar belakang sebuah masalah. Nah, berlatihlah agar anda mampu menyampaikan sesuatu dengan jelas, urut, tidak apologi dan emosi sambil tetap mengakui kekurangan kalau memang ada. Setelah itu, rapihkan kembali kondisi hati.

Tersinggung akan membuat seseorang dapat membedakan karakter setiap orang yang pastinya berbeda-beda. Sehingga berikutnya setiap orang disikapi sesuai karakternya masing-masing, tanpa kesan dibuat-buat atau pura-pura. Karena tidak mungkin setiap orang dengan berbagai karakternya disikapi dengan sikap yang sama.

Terakhir, tersinggung akan menyadarkan kita untuk tidak mudah melakukan tindakan dan perkataan yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Sebab kita telah merasakan sendiri, bagaimana 'enaknya' tersinggung itu. Berlatihlah untuk peka membaca perasaan orang lain, jangan menunggu 'disemprot' untuk menyadari bahwa ada ada ucapan dan tindakan kita yang dapat menyinggung perasaan seseorang.



Kesimpulannya… minimalisir rasa ketersinggungan, jangan mudah tersinggung dan jangan sukan menyinggung.

"Ya Rabb Kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr: 10)

Thursday, August 6, 2009

DOA BAGI YANG BERUSIA 40 TAHUN

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (سورة الأحقاف: 15)



"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (QS. Al-Ahqaf: 15)

Tersinggung


Tersinggung acap menghampiri diri kita, beragam penyebab dan latar belakangnya, beragam pula ekspresi dan pelampiasannya. Namun, ada yang nyaris tidak berbeda, tersinggung dapat membuat suasana hati menjadi keruh, bahkan kadang terluka.

Di sisi lain, tersinggung adalah merupakan kekhasan kita sebagai manusia yang Allah berikan perasaan lembut. Maka, jangan merasa bangga kalau ada orang yang mengaku dirinya tidak pernah tersinggung. Justeru tersinggung merupakan penegasan dari eksistensi kepribadian seseorang. Apalagi ketika radius pergaulannya semakin luas, variatif dan beragam.

Jadi, yang dibutuhkan adalah bukan mematikan sifat ketersinggungan itu, akan tetapi bagaimana kita meminimalisir atau memperkecil tingkat ketersinggungan dalam diri kita, apalagi kalau urusannya hanya bersifat pribadi belaka. Sebab, kalau hal itu kita biarkan tumbuh membesar dan liar dalam diri kita, akan banyak pintu-pintu kebaikan yang akan terhalang.

Bahkan, justeru dalam kondisi tertentu, ketersinggungan dapat dikelola dengan sikap positif untuk meraih hal-hal yang positif, di antaranya:

Tersinggung dapat menjadi kesempatan melatih diri untuk berlapang dada. Ketika ada hujatan, kritik, kata-kata yang memojokkan –terlepas itu benar atau tidak-, di sinilah sebenarnya kita diuji untuk mempraktekkan sikap lapang dada ini. Bukankah Rasulullah saw pernah memberikan jaminan surga kepada seseorang yang ketika menjelang tidur, dia melepaskan segala sangkutan dalam hatinya kepada semua orang.

Tersinggung, jika diarahkan dengan benar, akan melatih seseorang menjadi public relation bagi dirinya sendiri terhadap sikap yang dia ambil. Munculnya sindiran dan prasangka seringkali merupakan buah dari ketidaktahuan terhadap latar belakang sebuah masalah. Nah, berlatihlah agar anda mampu menyampaikan sesuatu dengan jelas, urut, tidak apologi dan emosi sambil tetap mengakui kekurangan kalau memang ada. Setelah itu, rapihkan kembali kondisi hati.

Tersinggung akan membuat seseorang dapat membedakan karakter setiap orang yang pastinya berbeda-beda. Sehingga berikutnya setiap orang disikapi sesuai karakternya masing-masing, tanpa kesan dibuat-buat atau pura-pura. Karena tidak mungkin setiap orang dengan berbagai karakternya disikapi dengan sikap yang sama.

Terakhir, tersinggung akan menyadarkan kita untuk tidak mudah melakukan tindakan dan perkataan yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Sebab kita telah merasakan sendiri, bagaimana 'enaknya' tersinggung itu. Berlatihlah untuk peka membaca perasaan orang lain, jangan menunggu 'disemprot' untuk menyadari bahwa ada ada ucapan dan tindakan kita yang dapat menyinggung perasaan seseorang.

Kesimpulannya… minimalisir rasa ketersinggungan, jangan mudah tersinggung dan jangan sukan menyinggung.

"Ya Rabb Kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr: 10)

Wednesday, March 25, 2009

Manusia Berhati Burung



"Akan masuk surga, orang-orang yang hatinya seperti hati
burung." (HR. Muslim)

Di antara penjelasan ulama tentang 'hati burung' yang dimaksud dalam hadits di atas adalah hati yang sangat halus dan lembut serta penuh kasih sayang, jauh dari sifat keras dan zalim.

Hati, adalah keistimewaan yang kita miliki sebagai manusia. Hati pula yang sangat menentukan baik buruknya nilai diri kita, sebagaimana telah dinyatakan dalam sebuah hadits Rasulullah saw.\

Di antara perkara yang sangat penting untuk kita pelihara dari hati adalah kelembutan dan kepekaannya terhadap perkara yang terjadi di sekeliling kita. Di sini kita tidak berbicara tentang kaedah hukum, hak dan kewajiban, dalil dan argumentasi, atau apalah namanya. Kita berbicara tentang perasaan yang secara fitrah dimiliki semua orang. Namun dalam batasan tertentu, dapat bereaksi lebih cepat dan efektif, ketimbang faktor lainnya.

Kelembutan hati dan rasa kasih sayang seorang ibu membuatnya tidak akan dapat tidur nyenyak meski kantuk berat menggelayuti matanya, manakala dia mendengar rengekan bayinya di malam buta, maka dia bangun dan memeriksa kebutuhan sang bayi.

Boleh jadi ketika itu dia tidak berpikir tentang keutamaan atau janji pahala orang tua yang mengasihi anaknya. Umar bin Khattab yang dikenal berkepribadian tegas, ternyata hatinya begitu lembut ketika melihat seorang nenek memasak batu hanya untuk menenangkan rengekan tangis cucunya yang lapar sementara tidak ada lagi makanan yang dapat dimasaknya, maka tanpa mengindahkan posisinya sebagai kepala Negara, dia mendatangi baitul mal kaum muslimin dan memanggul sendiri bahan makanan yang akan diberikannya kepada sang nenek.

Boleh jadi ketersentuhan hati Umar kala itu mendahului kesadaran akan besarnya tanggungjawab seorang pemimpin di hadapan Allah Ta'ala. Demikianlah besarnya potensi kelembutan hati menggerakkan seseorang. Kelembutan hati semakin dibutuhkan bagi mereka yang Allah berikan posisi lebih tinggi di dunia ini. Seperti suami kepada isteri dan anaknya, pemimpin atau pejabat kepada rakyatnya atau orang kaya terhadap orang miskin. Sebab, betapa indahnya jika kelembutan hati berpadu dengan kewenangan dan kemampuan yang dimiliki. Karena memiliki keweangan dan kemampuan, suami berhati lembut –misalnya- akan sangat mudah mengekspresikannya kepada isteri dan anaknya, bukan hanya terkait dengan kebutuhan materi, tetapi juga bagaimana agar suasana kejiwaan mereka tenang dan bahagia, tidak tersakiti, apalagi terhinakan. Begitu pula halnya bagi pemimpin, pejabat atau orang kaya.

Akan tetapi, jika kelembutan itu telah sirna berganti dengan hati yang beku, sungguh yang terjadi adalah pemandangan yang sangat miris dan sulit diterima akal. Bagaimana dapat seorang suami menelantarkan atau menyakiti isteri dan anaknya padahal mereka adalah belahan dan buah hatinya, bagaimana pula ada pemimpin atau pejabat yang berlomba-lomba mereguk kesenangan dan kemewahan dunia di atas penderitaan rakyatnya, padahal mereka dipilih rakyatnya, lalu bagaimana si kaya bisa tega mempertontonkan kekayaannya di hadapan si miskin yang papa tanpa sedikitpun keinginan berbagi, padahal tidak akan ada orang kaya kalau tidak ada orang miskin. Sungguh mengerikan! Di zaman ketika materi dan tampilan lahiriah semakin dipuja-puja, sungguh kita semakin banyak membutuhkan manusia berhati burung!

Menyongsong Masa Depan Da'wah di Saudi Arabia

Da’wah bagi seorang akh adalah bagian yang tidak pernah terpisah dari kehidupannya sehari-hari. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kehidupan seorang akh hendaknya berputar dalam poros da’wah. Nahnu Du’aat Qabla Kulli Syai’, begitu slogan yang sering kita dengar dari masyaikh da’wah dan kita dengungkan kepada khalayak, baik secara verbal maupun praktek.

Sulit bagi kita untuk menghitung, seberapa besar kenikmatan yang kita rasakan dan dapatkan dari da’wah yang terus kita geluti. Untuk menilai nikmatnya pertemuan ini saja, sulit untuk kita ungkapkan dengan rangkain kata-kata. Bahkan, tantangan dan rintangan yang kita hadapi justru semakin membuat kenikmatan tersebut semakin terasa.

Ikhwati Fillah,
Busyroyaat da’wah sudah sering kita dengar, baik nasional (Indonesia), maupun lokal (Saudi Arabia), baik dari terobosan-terobosan da’wah yang semakin besar dan luas hingga respon masyarakat yang kian antusias. Namun rumusan da’wah mengajarkan kepada kita bahwa semakin banyak Busyroyaat da’wah tersebut, semakin besar tantangan yang harus kita hadapi. Itu artinya, busyroyat da’wah yang sering kita sebut, harus berbanding lurus dengan kesiapan kita untuk mengoptimalisasikannya di tengh kehidupan. Apalah arti capaian-capaian tersebut jika akhirnya membuat kita stagnan, pasif, atau bahkan sekedar ‘ujub… na’uzu billah.

Hal pertama yang penting untuk kita miliki adalah tumbuhnya kesadaran akan kekuatan internal dan seberapa besar kekuatannya. Masalah ini seringkal luput dari perhatian, akibatnya, kita justru sering dikejutkan oleh besarnya kekuatan kita yang ternyata selama ini terbengkalai begitu saja.
Jika kita memperhatikan medan da’wah di Saudi Arabia sebagai medan da’wah kita sekarang ini, akan kita dapatkan beberapa keunggulan yang menjadi sumber-sumber kekuatan da’wah yang boleh jadi tidak mudah untuk didapatkan di wilayah lain.

Dari sisi obyek da’wah, secara global kita memiliki dua lapisan masyarakat yang sangat besar peranannya ke depan dalam menentukan arah da’wah ini, baik di sini maupun di tanah air, yaitu masyarakat pelajar (mahasiswa) yang umumnya berkonsentrasi dalam studi Islam, berikutnya adalah masyarakat pekerja (TKI dan TKW). Kedua lapisan masyarakat ini dengan karakteristiknya masing-masing jika mendapatkan penanganan serius, ke depan akan melahirkan kader-kader handal yang selama ini terbukti menjadi variabel penentu dalam terobosan-terobosan da’wah.



Dari sisi infrastruktur da’wah, sebenarnya banyak yang kita miliki. Benar, kita tidak memiliki perkantoran permanen atas nama kita sendiri dan sarana pelengkap lainnya. Namun itu bukan berarti tidak ada yang dapat kita manfaatkan, karena sesungguhnya sudah banyak pihak lain yang menyediakannya untuk kita manfaatkan. Maktab-maktab jaliat adalah fenomena yang paling jelas dalam masalah ini, literatur dan referensi kitab-kitab maroji’ dan haroky juga sisi lain yang menjadi penopang. Disamping itu, infrastruktur da’wah yang kita miliki bukan hanya dalam ruang lingkup materi, bahkan kita memiliki infrastruktur da’wah yang tak kalah besar pengaruhnya dalam menjalankan roda da’wah, yaitu suasana yang sangat kondusif bagi kita untuk menawarkan ajaran Islam yang benar bagi masyarakat.

Keunggulan-keunggulan ini harus kita sadari betul nilai strategisnya, agar kita tidak merasa memiliki potensi besar untuk berbuat sesuatu, juga agar kita dapat memetakan da’wah dengan prioritas yang tepat.

Tinggal kemudian permasalahan berikutnya adalah bagaimana mengoptimalkan potensi ini?.
Jujur saja, pada titik ini, umat Islam -baik dalam skala makro ataupun mikro- sering mengalami kegagalan. Di samping itu, hal ini memang bukan proyek main-main, karena kita bukan hanya melibatkan materi atau bahkan sekedar fisik, tetapi kita juga melibatkan seluruh dimensi kemanusiaan seseorang lengkap dengan tempramen dan karakternya masing-masing.

Karena itu, pertemuan ini hendaknya tidak hanya diartikan sebagai ajang untuk mempertemukan berbagai konsep yang lengkap dengan berbagai argumennya, tapi yang juga tak kalah bernilainya adalah bahwa pertemuan ini menjadi ajang bagi kita untuk mempertemukan hati dan jiwa kita dalam Da’wah di jalan Allah Ta’ala, yang Insya Allah menjadi pembuka lebar-lebar bagi kita jalan untuk menyatukan potensi-potensi tadi dan mengoptimalkannya.

Ikhwati Fillah,
Meskipun singkat, tentu banyak makna yang dapat kita gali dari pertemuan ini. Namun setidaknya, setelah menanamkan keikhlasan kita kepada Allah Ta’ala, hendaknya pertemuan kita kali ini memotivasi kita untuk terus menyegarkan spirit da’wah kita dan ayunan langkah kita agar semakin mantap dan serasi.

Untuk itu paling tidak ada empat hal yang hendaknya selalu kita hidupkan :

  1. Ruh al-Mubadarah, semangat proaktif, dalam semua level struktur yang ada. Kalau kita sekarang sering mendengungkan prinsip musyarokah ke tengah khalayak umum, maka mestinya di lingkungan internal, hal tersebut lebih intensif lagi.
  2. Ruh al-‘Ibda’, spirit berkreasi. Hal ini juga tak kalah pentingnya. Prinsip Da’wah sering diidentikkan dengan prinsip pemasaran. ‘Pasar’ akan merespon positif, jika sesuatu yang ditawarkan bersifat variatif. Betapa banyak da’wah memberikan hasil yang gemilang karena bersumber dari ide-ide cemerlang.
  3. Ruh al-Tadhiyah, spirit berkorban. Sejak awal kita sepakat, bahwa da’wah ini tidak akan mungkin berjalan tanpa adanya tadhiyah dari para pendukungnya, sebagaimana sejarah telah membuktikannya.
  4. Ruh al-‘Amal Jama’i, spirit bekerja sama. Boleh dikata ini adalah spirit yang paling khas yang harus kita miliki dalam hidup berjamaah.

Ikhwati fillah,
Langkah-langkah awal ini yang sesungguhnya banyak memiliki peran dalam pembentukan masa depan da’wah kita. Karena, mesti kita sadari sepenuhnya bahwa masa depan da’wah bukan ditentukan oleh berbagai tawaqqu’aat yang menanti kita di depan, tetapi lebih ditentukan –setelah karunia Allah- oleh langkah yang kita ayunkan di sini, sekarang ini. Cita-cita tentu berbeda dengan khayalan. Pemain berbeda dengan Penonton !.

Semoga Allah selalu memberikan kita istiqomah untuk mengemban misi da’wah ini hingga akhir hayat, wallahu waliyyu zalika wal qadiru ‘alaih.

(Disampaikan dalam Pertemuan Kader PKS se-Saudi Arabia di Jeddah, 15-16 Muharram 1426 H)

Monday, March 23, 2009

Geliat Da'wah TKI di Saudi Arabia

Perbincangan tentang da’wah di kalangan TKI di Saudi Arabia relatif tidak banyak mendapat perhatian banyak pihak jika dibandingkan berbagai kasus dan problem yang menimpa mereka.
Bisa jadi hal tersebut disebabkan keberadaan Saudi Arabia yang dikenal sebagai negara Islam, sehingga urusan da’wah dianggap perkara biasa dan wajar, sementara yang tidak wajar justru adanya berbagai kisah nestapa oleh perlakuan penduduk setempat. Padahal masalahnya tidak sesederhana itu, justru tantangan da’wah di kalangan TKI di negara ini memiliki kekhasan tersendiri di banding tempat lainnya. Hal itu dapat bersumber dari TKI sendiri, lingkungan pekerjaan, atau kondisi sosial yang ada.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sebagian besar TKI bekerja dalam sektor privat (sopir dan pembantu rumah tangga). Mereka umumnya berasal dari lingkungan yang kehidupan keberagamaannya sangat ‘cair plus latar belakang pendidikan standar. Hal tersebut berakibat pada lemahnya motivasi untuk meningkatkan kuwalitas keagamaannya, baik dari sisi ilmu maupun amalan. Atau kalaupun cukup baik latar belakang agamaannya, sering sudah terbungkus rapat dengan pemahaman tradisional yang sangat sensitif dengan pendapat yang dianggap berbeda, sehingga tidak sedikit di antara mereka (termasuk penulis sendiri) mendapat pesan sebelum berangkat : “Hati-hati, jangan terpengaruh ajaran orang sana, mereka mazhabnya beda”. Hal inipun sering jadi kendala tersendiri.

Kondisi pekerjaan juga banyak berpengaruh, di mana sektor rumah tangga yang umumnya tidak memiliki jam tertentu, membuat TKI kesulitan terlibat dalam kegiatan da’wah secara kontinyu. Kemudian kondisi sosial dalam perspektif da’wah juga relatif berbeda. Tidak seperti di negeri kita, di sini tidak sembarang orang –meskipun punya semangat da’wah dan ilmu agama- dapat berceramah atau memberikan pengajian di mesjid-mesjid atau tempat-tempat formal. Semuanya harus memiliki legalitas dari lembaga resmi yang diakui pemerintah setempat.

Namun demikian, terlepas dari semua tantangan yang ada, agenda da’wah tetap berjalan dan terus bergulir bahkan meningkat dari waktu ke waktu. Keberadaan kantor-kantor da’wah yang salah satu bidangnya mengurus da’wah bagi pendatang sangar besar perannya dalam menghidupkan da’wah dikalangan TKI. Kita biasa menyebutnya dengan istilah Maktab Jaliat (Kantor bagi pendatang) atau Islamic Center. Di Kantor seperti ini biasanya didatangkan da’i dari negara-negara yang banyak mengirim tenaga kerjanya ke Saudi, seperti Indonesia, Philipina, Srilangka, Pakistan dll, tentu saja tujuannya agar dapat menyampaikan da’wah sesuai dengan bahasa kaumnya.

Selain da’i di kantor-kantor da’wah, para mahasiswa yang sedang studi ilmu-ilmu syar’i besar pula peranannya dalam hal ini, bahkan di kota Dammam ada beberapa mahasiswa Indonesia yang studi ilmu-ilmu eksak (rata-rata mengambil program S2), juga aktif menghidupkan kegiatan da’wah di sana.

Kantor Da’wah biasanya memberikan fasilitas yang sangat besar –setidaknya jika dibandingkan di negeri kita- bagi mereka yang mau ngaji; seperti transportasi antar jemput, makanb malam atau siang, sejumlah hadiah, rihlah, umroh serta pembagian buku dan brosur keagamaan. Semuanya serba gratis.

Jumlah kantor da’wah di ibu kota Riyadh terbilang paling banyak, ada tujuh belas kantor yang tersebar di berbagai pelosok kota. Hal ini tentu saja berdampak pada tingginya kegiatan da’wah bagi pendatang di kota ini, termasuk di kalangan TKI, meskipun hanya enam kantor da’wah yang ada da’i dari Indonesia. Tidak kurang ada dua puluh sentra pengajian untuk orang Indonesia dengan waktu dan jumlah hadirin yang beragam, baik yang diadakan di kantor da’wah itu sendiri, di mesjid-mesjid atau perusahaan-perusahaan hingga dari rumah ke rumah. Kegiatan pengajianpun sudah semakin beragam, dari mulai seminar, rihlah, penggalangan dana dan hingga olahraga dan bantuan terhadap tenaga kerja. Untuk memudahkan koordinasi di antara pengajian, telah dibentuk Formatra (Forum Majlis Ta’lim Riyadh) yang mengatur dan mengelola jalannya pengajian yang ada di kota Riyadh.

Selain Riyadh, provinsi bagian timur (Damam, Khobar, Ahsa, Jubail dll) adalah wilayah yang cukup marak kegiatan da’wahnya, termasuk dengan adanya sejumlah kantor Da’wah. Berikutnya wilayah Qasim yang juga hidup kegiatan da’wahnya.

Di wilayah Hijaz, maka Jeddah merupakan kota yang paling marak kegiatan da’wahnya, di sanapun banyak kantor-kantor da’wah yang besar perannya mengembangkan da’wah di kalangan TKI. Bahkan di sana, komunitas warga Indonesia cukup mapan dan sudah turun temurun. Namun sayang, di kalangan TKI, Jeddah lebih dikenal sebagai kota tempat bersarangnya TKI ilegal, lengkap dengan berbagai problem dan ekses negatifnya.

Yang agak unik barangkali di Mekkah dan Madinah. Di kedua kota yang menjadi titik tolak da’wah dalam sejarah Islam, justru kegiatan da’wah bagi kalangan TKI tidak begitu marak, setidaknya hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya tenaga da’i resmi dari Indonesia di kantor-kantor da’wah di kota tersebut, padahal komunitas TKI sangat banyak. Sehingga hal ini sering memupuskan harapan sebagian TKI yang di antara tujuan kedatangannya ingin memperdalam ilmu agama selain mencari nafkah. Dan karena alasan tersebut, Mekkah atau Madinah menjadi pilihan mereka. Namun demikian pengajian-pengajian terbatas tetap ada di sejumlah tempat dengan bimbingan mahasiswa atau TKI yang sudah memiliki kafa’ah syar’i. Di sisi lain, keberadaan Masjidilharam dan Masjid Nabawi tentu saja menjadi kelebihan tersendiri bagi TKI yang bekerja di kota tersebut.

Isu teroris yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan di negara ini, al-hamdulillah tidak sampai mengganggu kegiatan da’wah bagi kalangan TKI. Terlebih lagi bangsa Indonesia relatif masih dikenal sebagai bangsa yang santun dan selalu menjaga hubungan baik, plus da’wah yang kita lakukan selalu memegang prinsip wasathiah (pertengahan), tidak melebar kepada hal-hal yang bersifat kontraproduktif dengan aktifitas da’wah itu sendiri.

Pernah terjadi di kota Riyadh, tahun lalu kita mengadakan acara tarhib Ramadhan di Masjid Rajihi (Pusat da’wah di kota ini) dengan mengundang seluruh jamaah majlis ta’lim di kota Riyadh. Acara dilaksanakan pada Jum’at pagi dan biasanya dihadiri sekitar 400 orang. Namun di pagi hari, ketika panitia akan menuju lokasi seminar untuk mempersiapkan acara, di setiap mulut jalan menuju lokasi telah di jaga ketat polisi, kendaraan tidak boleh masuk sama sekali tanpa kecuali. Rupanya ada isu demontrasi di kalangan orang-orang Saudi setelah shalat Jum’at di mesjid tersebut. Setelah berembuk, panitia memutuskan untuk tetap melakukan acara seperti rencana semula, dan menuju ke tempat lokasi berjalan kaki dengan wajar. Sekeliling mesjid yang biasanya ramai oleh mobil parkir dan tukang dagang kini benar-benar lengang. Alhamdulillah acara berjalan lancar dan jamaah tetap berdatangan seperti biasa meskipun pada awalnya banyak yang kebingungan. Pihak keamanan sempat meminta berkas-berkas yang kita bawa, kita berikan apa adannya dan alhamdulillah tidak terjadi apa-apa, karena kegiatan kita semata-mata da’wah karena Allah Ta’ala. Seorang kawan ada yang berseloroh: “Kali ini acara kita benar-benar mendapat pengamanan istimewa”.

Demikianlah sekelumit aktivitas da’wah di Saudi Arabia yang al-Hamdulillah semakin lama kian mendapat sambutan positif di kalangan masyarakat TKI. Namun jangan dikira bahwa semua itu ada hanya semata-mata karena negara ini bernama “Saudi Arabia”. Betul bahwa pemerintah Saudi banyak memberikan fasilitas da’wah yang sangat besar, namun semua itu tanpa kemauan dan kerja keras dari kalangan TKI sendiri, sulit akan tercipta iklim kondusif untuk da’wah. Terbukti tidak sedikit mereka yang tidak tergerak sama sekali menghadiri pengajian atau minimal melakukan perbaikan diri selama bekerja di negara ini, justru lebih dari itu banyak dari saudara-saudara kita yang terjerumus dalam lembah nista yang sulit dipercaya bagi mereka yang berada di tanah air bahwa hal tersebut dapat dilakukan di negeri ini.

Karena itu, kami pesankan kepada calon TKI yang akan datang ke Saudi Arabia, setelah tiba di negeri ini, segera cari informasi tentang kegiatan-kegiatan pengajian di kota tempat kerjanya dan segera aktif di dalamnya, insya Allah hal tersebut akan banyak membawa kebaikan pada dirinya, karena komunitas yang baik akan membantunya melindungi diri dari godaan maksiat. Jika tidak, besar kemungkinan dia akan tertarik oleh komunitas buruk, maka satu demi satu tawaran-tawaran kemaksiatan dalam berbagai bentuknya akan datang menghampirinya dan diapun dengan senang hati akan meladeninya, na’udu billahi min dzalik. Kalau sudah begini, jangankan nasihat seorang ustaz, ancaman hukuman yang keras sekalipun -seperti di negara ini- akan dia anggap khalli walli (masa bodo -Bahasa Arab pasaran) .

BAGAIMANA MEMULAI DA’WAH ?

Tumbuhnya pemahaman Islam yang baik dan benar setelah sekian lama berkubang dengan kekeliruan dan kekhilafan, sementara sekelilingnya masih banyak individu muslim bahkan orang-orang terdekatnya yang kehidupan agamanya masih memprihatinkan, biasanya melahirkan keinginan yang besar untuk berda’wah. Hal ini tentu saja sangat positif, tapi bagaimanapun juga harus dikelola dengan baik sesuai situasi dan kondisinya, sebab kalau tidak, bisa jadi justru kontraproduktif.

Kita tentu masih ingat kisah Abu Dzar Al Ghifari ketika masih baru memeluk Islam, seketika itu juga berdiri di depan Ka’bah dan menyerukan Islam kepada orang-orang kafir Quraisy yang berujung pada mendaratnya pukulan bertubi-tubi di tubuhnya dari orang-orang kafir tersebut hingga dirinya pingsan, begitu seterusnya terjadi beberapa kali, hingga akhirnya Rasulullah J menasehatinya agar dia pulang saja ke kabilahnya dan berda’wah disana. Dan benar, setelah sekian lama dia berda’wah seluruh kabilahnya masuk Islam.

Saya teringat dengan seorang akh yang ingin pulang kampung kemudian meminta saya untuk mencatatkan semacam teks ceramah tentang beberapa hal yang ingin dia sampaikan kepada sanak saudaranya, mengingat masih banyak –katanya- saudaranya yang ‘ngga bener dalam masalah agama. Segera terbayang dalam benak saya, akh kita ini segera berbicara di depan keluarganya apa yang dia dapatkan dari para ustaznya, “harus ini tidak boleh itu”, “tidak boleh ini harus itu”, segera timbul kekhawatiran dalam diri saya akan reaksi balik yang akan dia terima dari sanak saudaranya, apalagi secara pribadi akh kita ini memang sebelumnya tidak dikenal sebagai seorang ‘ustaz (baca: da’i) dikalangan keluarganya. Meskipun saya segera istighfar karena telah mendahului ketentuan Allah swt, sebab bisa jadi apa yang dilakukan akh tadi justru menghasilkan dampak positif di tengah keluarganya.

Kejadian-kejadian dalam kerja da’wah yang terjadi di luar kalkulasi, perkasus sangat mungkin sekali. Namun hal tersebut seharusnya tidak menghindari kita untuk mengantisipasi berbagi kemungkinan yang bakal terjadi dengan langkah-langkah taktis dan proporsional. Oleh karena itu, bagi seorang da’i penting juga memahami beberapa hal :
  1. Kuatkan hati dan kejiwaan anda dengan taqarrub kepada Allah. Berda’wah bukan kerja sembarangan yang dapat dilakukan begitu saja walau hatinya kosong. Tetapi dia adalah sesuatu yang harus disampaikan dengan penampilan prima lahir batin. Jangan lupa juga berdoa, kekuatan doa bisa lebih “dahsyat” dari seribu strategi.

  2. Sedapat mungkin perkokoh keberadaan dirinya dihadapan komunitasnya (itsbaat adz-dzaat). Hal tersebut tidak harus dilakukan lewat materi, misalnya dengan selalu memberi ini dan itu, meskipun jika ada kemampuan cukup efektif juga. Tapi dapat juga dilakukan dengan menampilkan citra diri yang positif di hadapan komunitasnya, misalnya dengan selalu menjalin komunikasi lewat ziarah atau sekedar bertanya apa khabar, menampilkan raport sosial yang bersih (tidak suka ingkar janji, dusta atau nilep uang saudara), memberikan pelayanan dan yang semacamnya. Citra yang positif tersebut akan sangat membantu anda untuk dengan mudah diterima oleh lingkungan anda dengan nilai-nilai dakwa nantinya.

  3. Sedapat mungkin membekali diri dengan dasar-dasar keislaman yang baik dan memadai terutama dengan perkara-perkara mendasar tentang ke-Islaman. Jangan berbicara tentang hal-hal yang belum dikuasainya apalagi sampai memberikan kesimpulan hukum, selain secara syar’i dikecam, hal tersebut juga dapat menjadi pukulan telak bagi mereka yang ‘dengki jika didapati ada kesimpulan anda yang kurang tepat berdasarkan rujukan syar’i yang ada. Jangan ragu untuk berkata: “Saya tidak tahu”, pada hal-hal yang memang dia tidak tahu, itu lebih baik daripada dia mencari jawaban sekenanya. Hal ini pada gilirannya menuntut seseorang untuk selalu mengkaji Ilmu-ilmu Islam dan mencari saluran-saluran pertanyaan dari berbagai problem berdasarkan kacamata keagamaan.

  4. Jika ada yang perlu anda sampaikan, mulailah pembicaraan dari prinsip-prinsip yang umum yang disepakati, misalnya keharusan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang menuntut adanya sikap keta’atan kepada keduanya. Masalah aqidah dan keimanan jelas harus menjadi bahasan utama, namun yang penting cara penyampaiannya yang baik. Perbanyak kisah-kisah tentang bentuk-bentuk ketaatan dari para shahabat dan kehidupan salafussalih. Hindari kisah-kisah yang aneh dan diluar akal, walau tujuannya untuk kebaikan, karena hal tersebut akan membiasakan orang untuk tidak tertarik perkara-perkara yang logis dan argumentatif kecuali jika cerita tersebut memiliki landasan dalil yang kuat.

  5. Pada tingkat permulaan, hindari bahasa-bahsa yang dapat mengundang antipati ketika pertama kali mendengarnya. Gunakan redaksi lain yang sebenarnya punya makna yang sama namun terasa “halus” di telinga. Untuk kata-kata bid’ah anda dapat menggunakan redaksi “Sesuatu yang bertentangan dengan tuntunan Rasul”, untuk kata-kata syirik anda dapat mengatakan “menduakan Allah” atau “perbuatan yang sangat tidak disukai Allah “, untuk kalimat negara Islam, anda dapat mengatakan “masyarakat Islam”, begitulah seterusnya. Untuk kemudian jika dirasa semuanya sudah siap mendengarnya gunakan istilah-istilah yang telah baku.

  6. Jangan berusaha seorang diri. Libatkan teman-teman yang memiliki fikroh yang sama, jika tidak didapatkan dilingkungan anda maka berusahalah mendapatkan orang-orang yang senang terhadap kebaikan, buat jalinan khusus dengan dia hingga dapat bekerja bersama kita.

  7. Semua lapisan masyarakat adalah objek da’wah, jangan minder jika da’wah anda cuma “disenengin” anak-anak (misalnya lewat TPA atau sekedar mendekati mereka), suatu saat mereka akan sangat berpotensi jika terus kita pantau perkembangannya. Bukankah dalam banyak riwayat Rasulullah juga menjadikan anak-anak sebagai objek da’wahnya ?.

  8. Jangan ada kesan anda mengenyampingkan tokoh-tokoh masyarakat yang sudah dikenal. Ziarahi mereka dan bangunlah silaturrahmi yang baik terhadap mereka serta sikapilah sebagaimana kedudukannya di tengah masyarakat namun tetap menjaga prinsip-prinsip yang telah diyakini, kecuali pada hal-hal yang masih mungkin bisa ditolerir. Lihatlah bagaimana sikap Rasul terhadap Abu Sufyan, tokoh masyarakat Quraisy yang baru masuk Islam dalam peristiwa Fath Mekkah.