Monday, March 23, 2009

BAGAIMANA MEMULAI DA’WAH ?

Tumbuhnya pemahaman Islam yang baik dan benar setelah sekian lama berkubang dengan kekeliruan dan kekhilafan, sementara sekelilingnya masih banyak individu muslim bahkan orang-orang terdekatnya yang kehidupan agamanya masih memprihatinkan, biasanya melahirkan keinginan yang besar untuk berda’wah. Hal ini tentu saja sangat positif, tapi bagaimanapun juga harus dikelola dengan baik sesuai situasi dan kondisinya, sebab kalau tidak, bisa jadi justru kontraproduktif.

Kita tentu masih ingat kisah Abu Dzar Al Ghifari ketika masih baru memeluk Islam, seketika itu juga berdiri di depan Ka’bah dan menyerukan Islam kepada orang-orang kafir Quraisy yang berujung pada mendaratnya pukulan bertubi-tubi di tubuhnya dari orang-orang kafir tersebut hingga dirinya pingsan, begitu seterusnya terjadi beberapa kali, hingga akhirnya Rasulullah J menasehatinya agar dia pulang saja ke kabilahnya dan berda’wah disana. Dan benar, setelah sekian lama dia berda’wah seluruh kabilahnya masuk Islam.

Saya teringat dengan seorang akh yang ingin pulang kampung kemudian meminta saya untuk mencatatkan semacam teks ceramah tentang beberapa hal yang ingin dia sampaikan kepada sanak saudaranya, mengingat masih banyak –katanya- saudaranya yang ‘ngga bener dalam masalah agama. Segera terbayang dalam benak saya, akh kita ini segera berbicara di depan keluarganya apa yang dia dapatkan dari para ustaznya, “harus ini tidak boleh itu”, “tidak boleh ini harus itu”, segera timbul kekhawatiran dalam diri saya akan reaksi balik yang akan dia terima dari sanak saudaranya, apalagi secara pribadi akh kita ini memang sebelumnya tidak dikenal sebagai seorang ‘ustaz (baca: da’i) dikalangan keluarganya. Meskipun saya segera istighfar karena telah mendahului ketentuan Allah swt, sebab bisa jadi apa yang dilakukan akh tadi justru menghasilkan dampak positif di tengah keluarganya.

Kejadian-kejadian dalam kerja da’wah yang terjadi di luar kalkulasi, perkasus sangat mungkin sekali. Namun hal tersebut seharusnya tidak menghindari kita untuk mengantisipasi berbagi kemungkinan yang bakal terjadi dengan langkah-langkah taktis dan proporsional. Oleh karena itu, bagi seorang da’i penting juga memahami beberapa hal :
  1. Kuatkan hati dan kejiwaan anda dengan taqarrub kepada Allah. Berda’wah bukan kerja sembarangan yang dapat dilakukan begitu saja walau hatinya kosong. Tetapi dia adalah sesuatu yang harus disampaikan dengan penampilan prima lahir batin. Jangan lupa juga berdoa, kekuatan doa bisa lebih “dahsyat” dari seribu strategi.

  2. Sedapat mungkin perkokoh keberadaan dirinya dihadapan komunitasnya (itsbaat adz-dzaat). Hal tersebut tidak harus dilakukan lewat materi, misalnya dengan selalu memberi ini dan itu, meskipun jika ada kemampuan cukup efektif juga. Tapi dapat juga dilakukan dengan menampilkan citra diri yang positif di hadapan komunitasnya, misalnya dengan selalu menjalin komunikasi lewat ziarah atau sekedar bertanya apa khabar, menampilkan raport sosial yang bersih (tidak suka ingkar janji, dusta atau nilep uang saudara), memberikan pelayanan dan yang semacamnya. Citra yang positif tersebut akan sangat membantu anda untuk dengan mudah diterima oleh lingkungan anda dengan nilai-nilai dakwa nantinya.

  3. Sedapat mungkin membekali diri dengan dasar-dasar keislaman yang baik dan memadai terutama dengan perkara-perkara mendasar tentang ke-Islaman. Jangan berbicara tentang hal-hal yang belum dikuasainya apalagi sampai memberikan kesimpulan hukum, selain secara syar’i dikecam, hal tersebut juga dapat menjadi pukulan telak bagi mereka yang ‘dengki jika didapati ada kesimpulan anda yang kurang tepat berdasarkan rujukan syar’i yang ada. Jangan ragu untuk berkata: “Saya tidak tahu”, pada hal-hal yang memang dia tidak tahu, itu lebih baik daripada dia mencari jawaban sekenanya. Hal ini pada gilirannya menuntut seseorang untuk selalu mengkaji Ilmu-ilmu Islam dan mencari saluran-saluran pertanyaan dari berbagai problem berdasarkan kacamata keagamaan.

  4. Jika ada yang perlu anda sampaikan, mulailah pembicaraan dari prinsip-prinsip yang umum yang disepakati, misalnya keharusan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang menuntut adanya sikap keta’atan kepada keduanya. Masalah aqidah dan keimanan jelas harus menjadi bahasan utama, namun yang penting cara penyampaiannya yang baik. Perbanyak kisah-kisah tentang bentuk-bentuk ketaatan dari para shahabat dan kehidupan salafussalih. Hindari kisah-kisah yang aneh dan diluar akal, walau tujuannya untuk kebaikan, karena hal tersebut akan membiasakan orang untuk tidak tertarik perkara-perkara yang logis dan argumentatif kecuali jika cerita tersebut memiliki landasan dalil yang kuat.

  5. Pada tingkat permulaan, hindari bahasa-bahsa yang dapat mengundang antipati ketika pertama kali mendengarnya. Gunakan redaksi lain yang sebenarnya punya makna yang sama namun terasa “halus” di telinga. Untuk kata-kata bid’ah anda dapat menggunakan redaksi “Sesuatu yang bertentangan dengan tuntunan Rasul”, untuk kata-kata syirik anda dapat mengatakan “menduakan Allah” atau “perbuatan yang sangat tidak disukai Allah “, untuk kalimat negara Islam, anda dapat mengatakan “masyarakat Islam”, begitulah seterusnya. Untuk kemudian jika dirasa semuanya sudah siap mendengarnya gunakan istilah-istilah yang telah baku.

  6. Jangan berusaha seorang diri. Libatkan teman-teman yang memiliki fikroh yang sama, jika tidak didapatkan dilingkungan anda maka berusahalah mendapatkan orang-orang yang senang terhadap kebaikan, buat jalinan khusus dengan dia hingga dapat bekerja bersama kita.

  7. Semua lapisan masyarakat adalah objek da’wah, jangan minder jika da’wah anda cuma “disenengin” anak-anak (misalnya lewat TPA atau sekedar mendekati mereka), suatu saat mereka akan sangat berpotensi jika terus kita pantau perkembangannya. Bukankah dalam banyak riwayat Rasulullah juga menjadikan anak-anak sebagai objek da’wahnya ?.

  8. Jangan ada kesan anda mengenyampingkan tokoh-tokoh masyarakat yang sudah dikenal. Ziarahi mereka dan bangunlah silaturrahmi yang baik terhadap mereka serta sikapilah sebagaimana kedudukannya di tengah masyarakat namun tetap menjaga prinsip-prinsip yang telah diyakini, kecuali pada hal-hal yang masih mungkin bisa ditolerir. Lihatlah bagaimana sikap Rasul terhadap Abu Sufyan, tokoh masyarakat Quraisy yang baru masuk Islam dalam peristiwa Fath Mekkah.

No comments:

Post a Comment